Agama Hindu pertama kali lahir di tanah India. Lahirnya Agama Hindu terjadi akibat percampuran antara dua kepercayaan yakni kepercayaan Arya dan kepercayaan Dravida. Nama “Hindu” sendiri di India kurang populer. Hal ini dikarenakan Agama Hindu di India lebih dikenal dengan nama Sanatana Dharma atau Waidika Dharma. Sanatana Dharma memiliki arti agama yang kekal, sedangkan Waidika Dharma memiliki arti agama yang berdasarkan kitab suci Weda. Dalam proses penyebarannya, Agama Hindu tersebar ke seluruh dunia dan salah satunya adalah Nusantara atau Indonesia. Penyebaran Agama Hindu di Indonesia dibawa oleh seorang Rsi Bernama Rsi Agastya. Beliau menyebarkan ajaran Agama Hindu dimulai dari pulau Jawa, Lombok, Sulawesi Selatan, Kalimantan, dan lain sebagainya. Penyebaran Agama Hindu di Bali sendiri dibawa oleh seorang Rsi Bernama Rsi Agastya.

Dalam proses penyebaran Agama Hindu di Indonesia (khususnya Bali), terdapat berbagai penolakan akibat perbedaan sudut pandang terhadap ajaran Agama Hindu. Agama Hindu di India menganut filsafat asli dari Weda, sedangkan Agama Hindu di Bali menganut perpaduan dua filsafat yakni filsafat Weda dan filsafat Buddha yang disesuaikan dengan upacara dan kultur khas nusantara. Ajaran Agama Hindu di India merupakan ajaran-ajaran asli atau sumber dari ajaran-ajaran Agama Hindu yang ada di seluruh dunia. Hal ini bisa terjadi akibat sifat Agama Hindu yang fleksibel dan tidak memaksakan pengikutnya. Akulturasi yang dialami ajaran-ajaran Agama Hindu terjadi dengan tidak menghilangkan makna sebenarnya dari Agama Hindu itu sendiri. Persamaan yang paling menonjol antara Agama Hindu di Bali dengan Agama Hindu di India ialah Weda merupakan sumber dari segala sumber. Perbedaan Agama Hindu di India dengan Agama Hindu di Bali terlihat dari berbagai aspek yang diantaranya pola makan, perayaan hari suci keagamaan, tata cara beribadah, kultur, tempat ibadah, adat istiadat, hingga penyebutan Tuhan. Agama Hindu di India cenderung menggambarkan Tuhan dengan banyak nama Dewa. Pernyataan tersebut benar adanya tercantum dalam filsafat Vedanta yang mengenal adanya 33 juta dewa. Dalam Manawa Dharmasastra 1. 22 disebutkan bahwa “Tuhan yang menciptakan tingkatan Dewa-Dewa yang memiliki sifat hidup dan sifat gerak”, sehingga Agama Hindu di India mengenal konsep ketuhanan yakni konsep politeisme. Konsep ketuhanan politeisme adalah bentuk kepercayaan yang mengakui adanya lebih dari satu Tuhan dengan menyembah nama-nama Dewa. Keadaan ini berbanding terbalik dengan Agama Hindu di Bali yang menganut konsep ketuhanan monoteisme yang dimana tetap menyebutkan nama-nama Dewa dalam proses penyembahannya, namun maksud yang dituju ialah Tuhan itu sendiri atau Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Sang Tunggal. Monoteisme adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa Tuhan itu satu, sempurna, tak berubah, pencipta seluruh alam semesta, dan merupakan satu entitas tertinggi.

Penyembahan Tuhan dengan berbagai nama diakibatkan oleh bentuk perwujudan Tuhan yang bersifat “Saguna Brahman”. Saguna Brahman merupakan bentuk perwujudan Tuhan dalam wujud para Dewa yang banyak ditemukan pada tempat-tempat suci dalam bentuk simbol-simbol keagamaan. . Saguna Brahman diperuntukkan bagi para Ajnani (orang yang masih diliputi oleh kesadaran fisik). Tuhan dalam Agama Hindu sejatinya satu. Munculnya beragam nama Dewa dalam Agama Hindu dikarenkan dalam Agama Hindu nama dan bentuk Tuhan yang mampu dicapai oleh panca indria sangat beragam. Menurut Ṛgveda Saṁhitā I.139.11 dan Rgveda Saṁhitā I.34.11, dewa dibagi dalam tiga kelompok yakni mereka yang tinggal di surga (dyu-loka), mereka yang tinggal di wilayah pertengahan (antariksa), dan mereka yang tinggal di bumi (pritivī). Dewa yang terbagi menjadi tiga kelompok besar tersebut sejatinya berasal dari satu sumber atau Sang Tunggal. Dalam Rgveda Mandala I Sukta 164, mantra 46 dinyatakan “Ekam sat wiprah bahuda wadanti, agnim yaman matariswanam”. Artinya “Tuhan itu satu, oleh para Rsi disebutkan dengan Agni, Yama, Matariswanam”. Semua yang ada di dunia ini adalah Tuhan. Tuhan berada di dalam ciptaan-Nya (Imanen) dalam bentuk jiwa dan di luar ciptaan-Nya. Sifat Tuhan yang berada dimana saja dikenal dengan sebutan “Wyapi Wyapaka”. Dalam Upanisad juga disebutkan bahwa semua ini adalah Brahman (Sarwam khalu idam Brahman). Tuhan juga dikenal dengan sebutan “Neti-Neti” yang memiliki arti bukan ini, bukan itu. Tuhan sejatinya tidak terdefinisikan dan tidak terbatas. Tuhan merupakan Yang Tertinggi sebagai sesuatu yang tidak mampu dilukiskan dengan nama tertentu. Semua nama menyatu dalam keesaan viśvam ekam.

Salah satu bukti Agama Hindu menganut konsep politeisme ialah berdirinya ajaran Hare Krishna. Hare Krishna merupakan lembaga atau gerakan keagamaan yang bergerak di bidang Pendidikan non formal. Hare Krishna merupakan salah satu aliran Agama Hindu yang lebih mendedikasikan hidupnya pada Tuhan Krishna. Tujuan ajaran Hare Krishna adalah membimbing manusia pada zaman penuh kejahatan yakni zaman Kaliyuga untuk mencapai pembebasan dalam bentuk kesadaran Khrisna yang abadi melalui Bhakti Yoga. Ajaran Hare Krishna diperkirakan sudah ada sejak 500 tahun yang lalu oleh Sri Caitanya Mahaprabu di India. Ajaran Hare Krishna dengan ajaran Agama Hindu pada dasarnya sama yakni menjadikan Weda sebagai landasan dan sumber dari ajaran. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan terdapat perbedaan pemahaman atau penerimaan dari ajaran-ajaran yang terkandung dalam Weda. Perbedaan ajaran Hare Krishna dengan ajaran Agama Hindu terlihat pada konsep ketuhanan dan ritual keagamaannya. Konsep ketuhanan dalam ajaran Hare Krishna mempercayai bahwa Krishna adalah Tuhan yang tunggal dan Tuhan yang utama. Hal ini berbanding terbalik dengan konsep ketuhanan dalam Agama Hindu yang menganggap bahwa Brahman adalah Tuhan yang utama. Mantra-mantra yang digunakan ajaran Hare Khrisna berbeda dengan mantra Agama Hindu yang memiliki beragam jenis. Dalam ajaran Hare Krishna hanya terdapat satu mantra yang selalu dipergunakan dalam upacara apapun. Mantra ini diambil dari kesusastraan Weda yang menyebut terdapat dua mantra yang secara khusus direkomendasikan. Mantra yang pertama ialah “omkara” dan mantra yang kedua ialah maha mantra Hare Krishna. Ajaran Hare Krishna menyimpulkan bahwa mantra merupakan doa yang ditujukan pertama kepada Radharani kemudian kepada Krishna, sehingga Radharani merupakan pasangan abadi dari lelaki personalitas tertinggi Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krishna. Perbedaan juga terlihat dalam korban suci yang dipersembahkan dalam ritual. Agama Hindu memperbolehkan penggunaan binatang sebagai persembahan dalam ritual. Hal ini berlawanan dengan ajaran Hare Krishna yang menekankan pada konsep ahimsa dan mengajarkan cinta kasih, sehingga mengganti korban suci tersebut dengan mengucapkan japamala atau nama Krishna dalam ritual.

Perbedaan konsep Tuhan dalam Agama Hindu di Bali dengan konsep Tuhan di India terjadi akibat perbedaan pandangan masyarakat setempat memahami ajaran-ajaran Weda. Weda sebagai sumber dari sumber dalam ajaran Agama Hindu bersifat fleksibel dan tidak dipaksakan. Ajaran Agama Hindu sejatinya satu, namun akibat proses penyesuaian dan akulturasi yang terjadi menimbulkan perbedaan antara ajaran Agama Hindu di tempat yang satu dengan tempat lainnya. Konsep ketuhanan politeisme di India dengan konsep ketuhanan monoteisme di Bali dalam kacamata Agama Hindu sah-sah saja keberadaannya. Ajaran Hare Krishna sebagai salah satu contoh dari banyaknya kepercayaan lain yang berlandaskan pada kepercayaan Hindu menunjukkan bahwa Agama Hindu dapat dimodifikasi sesuai dengan kepercayaan penganutnya. Guna mencegah terjadinya konflik antar kepercayaan yang berlandaskan pada ajaran Weda, maka penting bagi umat Hindu di seluruh dunia (khususnya Bali) memaknai fleksibilitas ajaran-ajaran yang terkandung dalam Weda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya

Step 1: Multiply £22 by the exchange rate: £22 * €1.12 = €24.64

Halaman ini berisi artikel tentang Sanghyang Adi Buddha dalam Buddhayana. Untuk Adi-Buddha secara global, lihat

Sang Hyang Adi Buddha adalah salah satu sebutan untuk konsep ketuhanan dalam Buddhisme yang digunakan oleh Buddhisme di Indonesia. Nama ini digunakan oleh Buddhisme Esoteris Indonesia dan dihidupkan kembali oleh Y.M. Ashin Jinarakkhita pada saat membangkitkan Buddhisme di Indonesia, mengingat sila pertama dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila, yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa".[1][2] Konsep ini digunakan oleh Buddhayana, yaitu organisasi dengan semangat nonsektarian yang mewadahi semua aliran Buddhisme, seperti Theravada, Mahayana, dan Tantrayana. Ketika menyinggung konsep Ketuhanan, diperlukan suatu "sebutan". Adi Buddha merupakan salah satu sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa. Sebutan lainnya adalah Advaya, Diwarupa, Mahavairocana (kitab-kitab Buddhis bahasa Kawi), Vajradhara (aliran Kagyu dan Gelug dari Tibet), Samantabhadra (aliran Nyingma dari Tibet), Adinatha (Nepal).[3]

Istilah Sang Hyang Adi Buddha adalah istilah yang disepakati dan dipergunakan oleh Sangha Agung Indonesia dan Majelis Buddhayana Indonesia sebagai sebutan Tuhan Yang Maha Esa. Istilah ini tidak terdapat dalam Tipitaka Pāli yang dipegang teguh oleh aliran Theravāda, melainkan terdapat dalam beberapa kitab seperti Sang Hyang Kamahayanikan (kitab Jawa kuno) yang menggunakan bahasa Kawi (bahasa Jawa kuno).

Sang Hyang Adi Buddha merujuk pada "Benih Kebuddhaan" yang terdapat dalam diri seseorang. Dalam aliran Mahayana, Adi‐Buddha merujuk pada Buddha primordial yang menggariskan Dhamma Universal yang sama.

Adi‐Buddha merupakan Buddha primordial Yang Esa, atau dinamakan juga Paramadi Buddha (Buddha Yang Pertama dan Tiada Terbandingkan). Sebutan lain adalah Adau‐Buddha (Buddha dari permulaan), Anadi‐Buddha (Buddha yang tidak diciptakan), Uru‐Buddha (Buddha dari segala Buddha). Juga disebut Adinatha (Pelindung Pertama), Svayambhulokanatha (Pelindung dunia yang ada dengan sendirinya), Vajradhara (Pemegang vajra), Vajrasattva (Mahluk Vajra), Svayambhu (Yang ada dengan sendirinya), atau Sang Hyang Adwaya (Tiada duanya). Dalam bahasa Tionghoa, Adi‐Buddha adalah Pen‐chu‐fu, sedangkan aramadi‐Buddha diterjemahkan menjadi Sheng‐chu‐fu. Di Tibet Dan‐pohi‐sans‐rgyas, Mchog‐gi‐dan‐pohi‐sans‐rgyas, atau Thogmahi‐sans‐rgyas, yang kesemuanya menunjukkan "Buddha dari segala Buddha", yang muncul sejak bermula, sebagai yang pertama: Paramadi‐buddhoddhrta‐sri‐kalacakra‐nama‐tantraraja dan Jnanasattva‐manjusryadi‐buddha‐nama‐sadhana.[4][5]

Dalam aliran Mahayana, Buddha memiliki tiga tubuh (Trikaya), yaitu: "Tubuh Perubahan" (Nirmanakaya) untuk mengajar manusia biasa; "Tubuh Kenikmatan" (Sambhogakaya) yaitu tubuh cahaya atau perwujudan surgawi; dan "Tubuh Dharma" (Dharmakaya) yang kekal, ada di mana‐mana, bukan realitas perseorangan, esa, bebas dari pasangan yang berlawanan, ada dengan sendirinya (svabhava‐kaya). Terdapat banyak Buddha, tetapi hanya ada satu Dharmakaya. Dharmakaya ini identik dengan Adi‐Buddha. Sumber doktrin Trikaya ini antara lain Avatamsaka Sutra dan Mahayana‐sraddhotpada‐shastra. Kitab yang terakhir adalah karya Asvagosha, seorang biksu yang hidup sekitar abad ke‐1 Masehi. Menurut Perguruan Vetulyaka Lokottaravada, Buddha Sakyamuni sebenarnya adalah wujud yang mewakili Adi‐Buddha di dunia. Herman S. Hendro (1968) menulis:[4]

Meskipun dipuja, doa-doa tidak pernah ditujukan kepada Adi‐Buddha. Dengan kekuatannya, Ia menghasilkan lima Dhyani Buddha. Surga dari Adi‐Buddha disebut Ogamin dalam bahasa Tibet atau Akanistha dalam bahasa Sanskerta (lit. "tidak ke bawah" atau "tanpa (kembali) ke arah bawah").[5]

Dalam Udana Nikaya (VIII: 3), Buddha Sakyamuni memberikan ajaran:[3]

Sifat Ketuhanan Yang Maha Esa dalam bahasa Pali adalah "Athi Ajatam Adbhutam Akatam Samkhatam", artinya: "Suatu yang tidak dilahirnya, tidak menjelma, tidak diciptakan dan yang mutlak". Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sesuatu tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun. Tetapi dengan adanya yang mutlak, yang tidak berkondisi (Asamkhatam) dapat dicapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara meditasi.

Sang Hyang Adi Buddha adalah asal usul dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, ia sendiri tanpa asal dan tanpa akhir, ada dengan sendirinya, tidak terhingga, unggul dalam segala kondisi, tak berkondisi, absolut, ada di mana-mana, esa tiada duanya, kekal abadi. Namun semua kata-kata indah dan besar itu tidak mampu melukiskan keadaannya yang sebenarnya dari Sang Hyang Adi Buddha. Adanya Adi Buddha merupakan penegasan yang penting, bahwa kehidupan ini bukanlah produk kekacauan, melainkan hasil dari tata kerja hierarki spiritual yang menghendakinya. Dengan adanya Adi Buddha, kehidupan ini menjadi berarti dan dapat dimungkinkan untuk mencapai pencerahan dan kebuddhaan.[3]

Sangha Agung Indonesia menjabarkan Ketuhanan dalam agama Buddha dan mendefinisikan Tuhan sebagai "sumber dari segala sesuatu yang ada". Dengan sendirinya: Maha Esa, kekal, segala sesuatu di alam semesta adalah babaran dari-Nya, tidak berwujud dan tidak mewujudkan diri-Nya, namun segala kata-kata yang indah ini tidak mampu untuk melukisan keadaan dari Sang Hyang Adi Buddha.

The Seeker's Glossary of Buddhism

The Seeker's Glossary of Buddhism[6] memberikan pengertian mengenai Adi Buddha:

Sementara itu, pengertian "Buddhisme esoterik" adalah istilah yang digunakan untuk menyebut sekolah-sekolah Buddhisme yang menggunakan mantra dan mudra sebagai metode utama pelatihan diri. Sekolah-sekolah ini ada dalam tradisi Mahayana di sebagian besar negara-negara Asia. Namun, dalam praktiknya, istilah ini sering digunakan sebagai sinonim Sekolah Tantra Tibet (Vajrayana). (Yokoi: 203)[7]

Konsep Adi‐Buddha adalah sebuah konsep yang muncul dari perkembangan Buddhisme Teistik yang merupakan tahapan terakhir Mahayana dan terutama dipengaruhi pemikiran Saivite (aliran Siwaisme dalam agama Hindu). Perkembangan ini khususnya ditemukan di Nepal dan Jawa, sementara asalnya adalah Benggala. Konsep ini mencapai pengembangan sepenuhnya dalam literatur Kālacakra (Vajrayana). Sir Charles Eliot dalam Hinduism and Buddhism (III, 387) mengajukan hipotesis bahwa perkembangan tersebut merupakan usaha akhir dari Buddhisme Asia Tengah untuk menghadapi perkembangan Islam dengan menunjukkan bahwa monoteisme dapat juga ditemukan dalam agama Buddha. Hal penting yang fundamental dari doktrin ini adalah bahwa dari satu Buddha primordial ini akhirnya timbul Buddha-Buddha yang lain. Meskipun demikian, para pengikut Kālacakra tidak menjadi teis dalam arti memuja satu Tuhan Yang Maha Kuasa, tetapi mereka mengidentifikasi Adi Buddha berbeda-beda sesuai dengan sektenya.[5]

Sukar ditentukan kapan dan bagaimana konsep Ādi Buddha atau Paramādi Buddha muncul untuk pertama kalinya. Csoma Körösi mengatakan bahwa nama dan sistem yang dikaitkan dengannya berhubungan erat dengan Srikāla-cakra-tantra, sebuah tantra yang terang-terangan Saivite dalam inspirasinya yang muncul pada abad ke-10 atau 11 Masehi. Namun, kata Ādi Buddha sudah terlebih dulu muncul dalam Nāmasangiti sebagai nama Mañjusri, sebuah kitab yang dianggap lebih dini dari abad ke-10 karena diperkirakan tulisan yang mengomentari kitab tersebut ditulis setidak-tidaknya pada abad ke-7 Masehi.[5][8]

Konsepsi Adi‐Buddha berkembang dalam ajaran esoterik Tantra, sekalipun embrio konsepsi dapat ditelusuri jauh sebelumnya. Tulisan yang dianggap paling awal adalah Kitab Namasangiti yang diperkirakan merupakan karya abad ke‐7. Kitab‐kitab lain di antaranya Guna Karanda Vyuha, Svayambhu Purana, Maha Vairocanabhisambodhi Sutra, Tattvasangraha Sutra, Guhya‐samaya Sutra, dan Paramadi‐buddhoddhrta‐sri‐kalacakra Sutra. Kitab dari Indonesia adalah Namasangiti versi Candrakirti dari Sriwijaya dan Sang Hyang Kamahayanikan karya pada zaman pemerintahan Mpu Sindok (abad ke‐10).[4]

Secara garis besar, perkembangan konsep Ādi Buddha dibagi menjadi tiga periode.[5]

Kepercayaan di Indonesia

Umat Buddha Indonesia sejak zaman Syailendra dan Mataram Kuno sudah meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana umat Buddha di Tibet, Nepal, dan aliran di utara. Di Nepal dikenal istilah Adinata yang berarti "pelindung utama"; juga Swayambhulokanatta yang berarti "pelindung jagat yang tidak dilahirkan". Tibet mengenal istilah-istilah seperti Vajradhara atau Dorjechang atau "penguasa dari semua misteri". Kitab Namasangiti yang ditulis oleh seorang Bhikkhu Indonesia benama Candrakirti, dan simbolisme yang terpancar pada stupa mandala candi Borobudur, memberi bukti bahwa agama Buddha yang dipeluk oleh rakyat Indonesia sejak zaman Sriwijaya, Mataram Kuno, Syailendra, dan Majapahit adalah agama Buddha yang mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa.

Beberapa kitab yang menggunakan istilah Sang Hyang Adi Buddha: 1. Naskah Guna Karanda Vyuha

2. Naskah Sang Hyang Kamahayanikan

Herman S. Hendro (1968) dalam tulisannya menyebutkan:[4]

Semenjak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, para pendiri bangsa telah menyetujui sebuah ideologi sebagai dasar negara untuk menyatukan semua etnis, agama, dan ras,[9] yaitu Pancasila sebagai dasar untuk berbangsa dan bernegara. Salah satu sila dari Pancasila, yaitu sila pertama, adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa". Mayoritas orang salah mengartikannya sebagai pengakuan bangsa Indonesia atas keberadaan tuhan yang hanya satu (eka). Dari sudut etimologi bahasa Sanskerta, Ketuhanan Yang Maha Esa tidak mengacu pada keberadaan tuhan yang satu, melainkan pada nilai-nilai atau sifat-sifat luhur yang tinggi dan mutlak ada. Kesalahpengertian tersebut membuat adanya kalangan yang mempertanyakan apakah ajaran agama Buddha mengakui adanya Ketuhanan Yang Maha Esa.[9][10]

Pemerintah Indonesia, sebagai akibat pemberontakan PKI pada tahun 1965, menyatakan menolak dan melarang pengembangan semua paham berbau komunisme atau atheisme.[4][11] Akibatnya, pemerintah waktu itu merasa ragu untuk menjadikan Agama Buddha sebagai agama resmi. Y.M. Ashin Jinarakkhita mengusulkan nama Sang Hyang Adi Buddha Buddha sebagai nama dari tuhan dalam ajaran Agama Buddha. Ia mencari sumber untuk mengonfirmasi Tuhan versi Buddhisme unik milik Indonesia ini dari kitab-kitab berbahasa Jawa kuno, dan bahkan dari bentuk Candi Borobudur di Jawa Tengah.[11] Hal ini kemudian disampaikan kepada Menteri Agama dan akhirnya pemerintah menerima Agama Buddha sebagai agama resmi negara pada tahun 1978, sebagaimana tercantum dalam GBHN tahun 1978, Kepres R.I No. 30 Tahun 1978, serta Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/74054/1978 (18 November 1978).[10]

Penggunaan istilah Sang Hyang Adi Buddha sebagai tuhan menjadi polemik dan kontroversi tersendiri di kalangan umat Buddha Indonesia sampai sekarang. Hal ini dikarenakan konsep Sang Hyang Adi Buddha yang hanya ada dalam Agama Buddha mazhab/tradisi Tantrayana/Vajrayana bukanlah tuhan dalam pengertian tuhan berpersonal seperti pengertian dalam agama monotheis. Politisasi dengan menggunakan dan sekaligus menyandingkan istilah Sang Hyang Adi Buddha sebagai tuhan personal sangat bertentangan dengan ajaran Agama Buddha. Dengan adanya politisasi ini, Agama Buddha di Indonesia menjadi sedikit berbeda dengan Agama Buddha di dunia. Selain itu, hal ini juga menambah kontroversi pada Y.M. Ashin Jinarakkhita sebagai pencetus penggunaan istilah Sang Hyang Adi Buddha sebagai tuhan dalam Agama Buddha.[10]

Meskipun negara puas oleh konsep yang diajukan Ashin Jinarakkhita, pertanyaan-pertanyaan justru muncul dari antara para pengikut Buddhisme, bahkan juga dari antara murid-murid utamanya yang telah berjuang bersama-sama dengan dia semenjak semula. Semenjak saat itu, terjadi perdebatan, disintegrasi, dan perpecahan, yang tidak dapat dihindarkan dalam organisasi-organisasi Buddhis. Oposisi yang paling utama berasal dari pengikut tradisi Theravāda, dan hal tersebut kelihatannya juga dipengaruhi oleh gerakan pemurnian Buddhisme Thailand yang dimulai pada abad ke-19 oleh Raja Mongkut, selanjutnya banyak Bhikkhu-bhikkhu dari sana datang ke Indonesia. Meskipun ada juga bhikkhu-bhikkhu yang datang dari Sri Lanka, seperti Bhikkhu Narada Thera dan Mahasi Sayadaw bersama kelompoknya, mereka hanya datang beberapa kali saja pada tahun-tahun awal.[9]

Akhirnya, pada tahun yang sama dengan memuncaknya polemik (1974), Ditjen Bimas Hindu-Buddha (Gde Puja, MA.) mengeluarkan keputusan bahwa seluruh mazhab/tradisi Agama Buddha berkeyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa dan masing-masing sekte memberikan nama yang berbeda-beda, tetapi pada hakekatnya adalah sama. Dengan demikian, maka secara tidak langsung timbul pemaksaan doktrin oleh pemerintah dimana seluruh mazhab/tradisi Agama Buddha wajib meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan bagi mazhab/tradisi yang tidak meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa, maka akan dibubarkan. Hal ini pernah terjadi pada mazhab/tradisi Buddha Mahayana yang diperkenalkan oleh Biksu Surya Karma Chandra. Karena Mazhab/tradisi ini tidak menerima doktrin Tuhan Yang Maha Esa, maka akhirnya mazhab/tradisi ini dilarang keberadaannya pada tanggal 21 Juli 1978.[10]

Nama Sang Hyang Adi Buddha digunakan dalam salam penghormatan yang digunakan terutama oleh Buddhayana, yaitu Namo Sang Hyang Adi Buddhaya. Salam ini disebarluaskan oleh Y.A. Mahawiku Dharma-aji Uggadhammo, salah satu dari lima orang yang pertama kali ditahbiskan menjadi Bhikkhu setelah masa kemerdekaan Indonesia.[12]

Salam penghormatan secara lengkap yang biasa digunakan sebagai salam pembuka pada sambutan buku, surat, atau rapat adalah:

Penghormatan kepada Sang Hyang Adi Buddha umumnya tercantum dalam Vandana (ungkapan penghormatan) dalam buku kebaktian Buddhayana: 1. VANDANA[13]

Ensiklopedi Nasional Indonesia

Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1988), Adi Buddha dan tradisi yang menggunakan istilah ini dijelaskan sebagai berikut.[4]

Politik dan pemerintahan

Peraturan pemerintah RI No. 21/1975 tentang sumpah/janji pegawai negeri sipil, pasal 4 ayat (5), telah mengatur pengucapan sumpah/janji bagi yang beragama Buddha dengan menyebut "Demi Sang Hyang Adi Buddha" pada awal pengucapan sumpah tersebut.[15]

Agama memiliki banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak para ahli, salah satunya adalah definisi agama yang dilihat dari segi sejarah atau secara historis, masalah agama mempengaruhi kehidupan masyarakat dan tidak dapat dipisahkan dari penelitian ilmu sosial. Oleh karena itu, studi agama pada hakikatnya merupakan bagian dari bidang sosiologi, psikologi, dan antropologi. Sosiologi adalah akar dari semua ilmu sosial. Dengan cara ini, semacam sosiologi agama, sejarah agama, filsafat agama, publikasi agama, dll. lahir. Francisco Jose Moreno berkata, sejarah agama setua sejarah umat manusia. Khususnya di Indonesia, semua masyarakat menganut agamanya. Biasanya agama dianut berdasarkan keturunan, anak yang baru lahir akan mengikuti agama orang tuanya secara otomatis, menganut agama sudah menjadi kewajiban umat manusia karena dengan ini manusia bisa mendapatkan kedamaian dalam hidupnya. Di Indonesia sendiri, terdapat 6 agama yang diakui yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu.

Masing-masing agama memiliki sejarah yang berbeda, salah satunya yaitu agama Hindu, agama Hindu diklaim sebagai agama tertua di dunia. Agama ini pertama kali ditemukan di India dimana kelahiran agama Hindu dilatarbelakangi oleh akulturasi budaya antara bangsa Arya sebagai pendatang dari Iran dan bangsa Dravida sebagai penduduk asli India. Bangsa Arya datang sekitar tahun 1500 SM ke India hingga melewati banyak hal dan agama Hindu sampai di Nusantara. Saat ini, orang-orang mulai bertanya terkait perbedaan cara dalam persembahyangan antara Hindu di India dengan Hindu di Bali. Dikarenakan Hindu pertama kali ditemukan di India, sehingga India cenderung melakukan pemujaan atau persembahyangan Hindu dengan metode zaman dulu tanpa adanya akulturasi. Lain hal dengan Hindu yang ada di Bali, persembahyangan cenderung lebih modern dibandingkan Hindu di India. Agama Hindu di Bali mengalami akulturasi, dimana keadaannya menyesuaikan dengan hal sekitar tanpa menghilangkan tradisi yang sudah melekat sebelumnya.

Tidak hanya cara persembahyangan, pakaian dalam sembahyang juga terdapat perbedaan yang mencolok, Hindu di India menggunakan kain sari dalam persembahyangannya sedangkan Hindu di Bali menggunakan kebaya. Sarana upacara juga terdapat sedikit perbedaan. Dan yang sering dibicarakan banyak orang adalah. Mengapa di Hindu di Bali mengklaim tuhannya Ida Sang Hyang Widhi sedangkan di India tidak? Hal ini disebabkan karena ajaran Hindu pada Bali mempunyai sifat lebih berimbang atau biasa, dengan ini ajaran Hindu pada Bali bisa lebih cepat beradaptasi dengan budaya sekitar. Bisa dikatakan, ajaran Hindu pada Bali mengalami akulturasi tanpa melebih-lebihkan dan atau mengurangkan ajaran yang berlaku sebelumnya. Sedangkan di India sendiri, pemujaannya cenderung dilakukan pada Dewa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya

Middle SchoolSocial ScienceEducation

Identifying the structure of a text (e.g., introduction, body, conclusion) is a fundamental reading comprehension skill. Different text structures serve different purposes; understanding the structure helps readers grasp the main idea and supporting details.

Evolusi konsep Ādi Buddha

Menurut naskah kanonik Theravada, Buddha Sakyamuni masuk ke Nirwana (parinibbana) pada usia 80 tahun. Namun, juga dijelaskan bahwa jika Ia mau, Ia dapat terus hidup sebagai manusia selama satu masa yang tak terkirakan lamanya (kalpa). Di nirwana, Dia telah melampaui segala pengetahuan Dewa dan manusia, ke dalam keadaan yang tidak dapat diterangkan, dan di luar batas daya akal, tetapi bukan suatu kondisi yang nihil (ketidakadaan).[5]

Sejak masa kuno, terdapat suatu kepercayaan bahwa sang Buddha terus hidup meskipun ia tidak tampak. de La Vallee Pussin (ERE. I, 96a) memperkirakan:[5]

Berikut ini merupakan doktrin-doktrin yang mendukung:[5]

Dengan berkembangnya waktu, ide yang berkembang adalah bahwa Buddha Sakyamuni merupakan salah satu dari serangkaian Buddha (yang untuk mudahnya dihitung menjadi empat, tujuh, atau dua puluh empat) yang membentuk seri tak terhingga, meluas tanpa batas, mundur ke masa silam dan maju ke masa depan. Banyak di antara Buddha-Buddha tersebut yang tidak terlahir di bumi ini, tetapi di berbagai dunia yang disebut sebagai Tanah Suci Buddha. Para Buddha yang bersinar menerangi ruang tak terhingga beserta alam semesta yang tak terbatas ini berada di bawah Ādi Buddha. Namun, dalam Sūtrālankara (IX, 77), doktrin Ādi Buddha ditolak sama sekali, sebab tak seorangpun dapat menjadi Buddha tanpa alat (sambhara) pahala dan pengetahuan, yang hanya bisa diperoleh dari Buddha sebelumnya (yang mendahului dan meramalkan bahwa ia akan menjadi Buddha yang berikutnya pada kehidupan mendatang). Oleh sebab itu, tidak mungkin ada Buddha pertama.[5]

Dalam Sutra Mahā-Vairochanābhisambodhi, keaktifan Buddha berasal dari tubuh (kāya), ucapan (vāca), dan pikiran (citta). Para Buddha dan Bodhisattva merupakan manifestasi dari setiap kebajikan yang tak terbilang banyaknya dari Mahā-Vairochana-tathāgata yang merupakan raja alam semesta. Bab Mahā-virasamādi melukiskan Mahā-Vairochana-tathāgata sebagai berikut:[5]

Kebijaksanaan sang Buddha tidak terbayangkan dan tidak ada bandingnya. Mereka yang telah terbebas dari semua jenis noda dan telah menyadari kebenaran dengan bangkit sendiri akan memperoleh pemenuhan semua hasrat mereka.

Istilah "mereka yang bangkit sendiri" (Svayambhū) dipakai sebagai nama lain dari Ādi Buddha pada masa kemudian dan mempunyai makna penting. Dalam Buddhaguhya, komentar terhadap Sutra Mahā-Vairochanā, arti kata Ādi Buddha dijelaskan sebagai berikut:[5]

Mereka yang "bangkit sendiri" adalah para bodhisattva yang lebih tinggi dari tingkat ke delapan. Mereka tidak dituntun oleh yang lain, tetapi mencapai kebangkitannya sendiri.

Dalam Sutra Tatvasangraha yang termasuk dalam masa akhir periode Buddhisme Esoterik murni, ketiga misteri yang disebutkan dalam Sutra Mahā-Vairochanābhisambodhi telah berkembang lebih lanjut, yaitu mahā mandala (tubuh), samaya mandala (pikiran), dharma mandala (ucapan), dan karma mandala (perbuatan). Masing-masing dilambangkan dengan mudrā sebagai mahā mudrā, samaya mudrā, dharma mudrā, dan karma mudrā. Disebutkan:

Setelah Vajradhātu-mahāsattva sendiri menyadari penerangan dari semua Tathāgata, Dia menjadi Vajradhātu-tathāgata dan memasuki Ujud Permata (Vajra-sattva) yang merupakan sifat dasar dari lima tipe pengertian: pengertian murni tentang dharma-dhātu, pengertian seperti cermin, pengertian kedalam sifat keesaan, pengertian gaib, dan pengertian yang membuat tercapainya pebuatan. Semua Tathagata muncul dalam Vajra-sattva ini. Masing-masing dari mereka dapat berbicara satu sama lainnya, dan dalam kenyataannya mereka adalah esa tanpa ada perbedaan. Yang satu menempati tempat kedudukan raja dari semua Tathagata, yang lainnya menghadap ke empat sudut, maka timbullah ke empat Buddha yang merupakan sifat-sifat penting dari keempat tipe kebijaksanaan. Buddha-Buddha ini adalah Aksobhya (timur), Ratnasambhava (selatan), Amitābha (barat), dan Amoghasiddhi (utara).

Dari perbandingan Sutra Mahā-Vairochanābhisambodhi dan Sutra Tatvasangraha, yang pertama menggolongkan dan menjadikan satu berbagai makhluk suci dari periode pertama Buddhisme Esoterik, sedangkan Sutra Tatvasangraha yang lebih baru menjelaskan bahwa ketigapuluhenam makhluk suci berasal dari Buddha Vajradhātu-tathāgata.[5]

Pada periode lanjut, Namasangiti menyebutkan bahwa Vajrasattva adalah sang Adi Buddha. Alasan mengapa nama Manjusri, bukan Vajrasattva, yang digunakan adalah karena Manjusri adalah manifestasi dari tubuh penerangan yang sejati dari Samantabhadra (nama lain Vajrasattva). Dalam komentar yang sama, Adi Buddha disebut sebagai: "Buddha tidak berawal dan tidak berakhir. Sang Ādi Buddha adalah tidak berbentuk dan tak tampak."[5]